BREAKING NEWS

Menggugat Palapa: Dari Tragedi Bubat ke Bhinneka Tunggal Ika


Persatuan Nusantara Bukan Warisan Penaklukan, Melainkan Kesadaran Kemanusiaan yang Ditegaskan Bung Karno melalui Pancasila

Sejarah bukan sekadar kumpulan tanggal dan peristiwa. Ia adalah arena perebutan makna. Siapa yang berkuasa menentukan apa yang dicatat, apa yang disenyapkan, dan apa yang diwariskan sebagai kebenaran. Dalam konteks itulah Perang Bubat harus dibaca—bukan semata sebagai peristiwa masa lalu, melainkan sebagai simbol konflik abadi antara ambisi kekuasaan dan martabat manusia.

Perang Bubat tidak tercatat dalam Nagarakretagama, naskah resmi Majapahit yang menarasikan kejayaan, ekspansi wilayah, dan kemegahan kekuasaan. Namun tragedi ini hidup dalam naskah-naskah Sunda seperti Kidung Sunda dan Carita Parahyangan. Di sana, Bubat bukan sekadar cerita, melainkan luka kultural yang diwariskan lintas generasi. Perbedaan sumber ini melahirkan perdebatan panjang: apakah Perang Bubat fakta sejarah atau sekadar fiksi sastra?

Namun pertanyaan itu sering kali keliru arah. Yang lebih penting bukanlah apakah Bubat sepenuhnya terjadi secara faktual, melainkan apa makna ideologis yang dikandung oleh kisah itu bagi perjalanan Nusantara. Sebab sejarah, dalam banyak hal, lebih jujur ketika dibaca melalui luka ketimbang melalui prasasti kejayaan.

Bubat adalah tragedi karena ia memperlihatkan benturan paling telanjang antara dua pandangan tentang persatuan. Di satu sisi, persatuan sebagai penaklukan, logika kekuasaan feodal yang menganggap tunduk sebagai syarat bersatu. Di sisi lain, persatuan sebagai kehormatan, kesadaran bahwa martabat manusia tidak boleh dikorbankan atas nama ambisi politik apa pun.

Di sinilah Sumpah Palapa harus ditempatkan secara jujur dan kritis.

Sumpah Palapa adalah sumpah ekspansi. Ia lahir dari zaman ketika luas wilayah dianggap ukuran kebesaran negara, dan penaklukan dipandang sebagai jalan sah menuju stabilitas. Dalam konteks Majapahit, sumpah ini mungkin efektif sebagai strategi geopolitik. Namun menjadikannya fondasi ideologis Indonesia modern adalah kekeliruan historis sekaligus politis.

Indonesia tidak lahir dari sumpah elite.
Indonesia lahir dari kesadaran rakyat yang menolak ditundukkan.

Sering kali kita lupa bahwa kejayaan Majapahit adalah kejayaan feodal. Ia dibangun di atas struktur kekuasaan hierarkis, relasi tunduk, dan legitimasi simbolik yang kuat. Dalam logika Marhaenisme, struktur semacam ini tidak pernah berpihak pada manusia kecil. Maka ketika Sumpah Palapa terus dipuja tanpa kritik di era republik, sesungguhnya kita sedang menghidupkan kembali jiwa feodalisme dalam wajah nasionalisme.

Menariknya, dalam bayang sejarah yang jarang disorot, justru Hayam Wuruk memberikan pelajaran yang jauh lebih relevan bagi Indonesia hari ini. Dalam kisah alternatif yang hidup dalam tradisi lisan dan tafsir kebudayaan, Hayam Wuruk memilih menjaga Diah Pitaloka, mojang Priangan, tetap aman di telatah Majapahit. Bukan sebagai simbol penaklukan, melainkan sebagai manusia yang membawa kehormatan bangsanya.

Keputusan semacam ini mungkin tidak heroik bagi prasasti kekuasaan, tetapi sangat bermakna bagi etika peradaban. Ia menunjukkan bahwa persatuan sejati tidak lahir dari pemaksaan, melainkan dari penghormatan. Sayangnya, etika semacam ini jarang dicatat oleh sejarah resmi, karena ia tidak menambah daftar kemenangan.

Berabad-abad kemudian, Nusantara menemukan jalannya sendiri, di luar bayang Majapahit.

Jalan itu dirumuskan dalam satu kalimat sederhana namun revolusioner: Bhinneka Tunggal Ika. Ungkapan ini bukan sekadar semboyan, melainkan pandangan hidup. Ia menolak logika penyeragaman dan penaklukan. Ia menegaskan bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kenyataan yang harus dirawat dengan kesadaran etis.

Bhinneka Tunggal Ika adalah antitesis Sumpah Palapa.

Jika Palapa berbicara tentang tunduk, Bhinneka berbicara tentang setara.
Jika Palapa berbicara tentang wilayah, Bhinneka berbicara tentang manusia.

Kesadaran inilah yang kemudian digali dan dirumuskan Bung Karno menjadi Pancasila.

Bagi Bung Karno, Pancasila bukan hasil kompromi elite, melainkan philosophische grondslag, dasar falsafah yang tumbuh dari pengalaman historis rakyat Indonesia. Ia menegaskan bahwa Indonesia bukan negara untuk satu golongan, satu identitas, atau satu tafsir sejarah. Indonesia adalah proyek bersama yang hanya bisa hidup jika berdiri di atas perikemanusiaan dan keadilan sosial.

Bung Karno secara tegas mengingatkan bahwa nasionalisme yang kehilangan dimensi kemanusiaan akan berubah menjadi chauvinisme. Dan chauvinisme, dalam sejarah mana pun, selalu berujung pada penindasan, baik oleh bangsa asing maupun oleh elite bangsanya sendiri. Karena itu, Pancasila menolak persatuan yang dibangun di atas luka dan ketakutan.

Di era digital hari ini, pesan Bung Karno justru semakin relevan.

Perang Bubat tidak lagi hadir sebagai konflik bersenjata, tetapi sebagai perang narasi. Media sosial, algoritma, dan propaganda identitas menjadi arena baru di mana sejarah dipelintir demi legitimasi kekuasaan. Persatuan sering diteriakkan untuk membungkam kritik. Nasionalisme dipakai untuk menutupi ketimpangan. Dan sumpah-sumpah lama dihidupkan kembali untuk membenarkan dominasi baru.

Dalam konteks inilah menggugat Palapa menjadi penting. Bukan untuk menafikan sejarah, melainkan untuk membebaskannya dari penyalahgunaan ideologis. Sejarah harus dibaca sebagai pelajaran, bukan sebagai alat penindasan yang disakralkan.

Indonesia tidak berdiri di atas sumpah penaklukan.
Indonesia berdiri di atas kesadaran untuk hidup bersama dalam perbedaan.

Gajah Mada telah selesai dengan zamannya.
Majapahit telah menjadi pelajaran, bukan tujuan.
Dan Bung Karno telah memberi kita kompas ideologis.

Tugas generasi hari ini adalah menjaga agar persatuan Indonesia tetap berpihak pada manusia, bukan pada mitos kekuasaan. Menolak nasionalisme palsu yang keras di luar tetapi hampa keadilan di dalam. Dan memastikan bahwa Pancasila tetap menjadi ideologi pembebasan, bukan slogan kosong.

Sebab bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling luas wilayahnya, melainkan bangsa yang paling berani menjaga martabat setiap manusia di dalamnya.(sang)

Oleh: Gaozan

Pengamat Budaya Nusantara
Surabaya, Desember 2025