Meraba Konsep Islah Antara Kyai Miftah Dengan Gus Yahya
Font Terkecil
Font Terbesar
Meraba Konsep Islah dalam Putusan Musyawarah Kubro Antara Kyai Miftah Dengan Gus Yahya
INDEPENDEN.CO.ID | JAKARTA — Sebagai orang awam, saya terus terang mengalami kesulitan memahami secara utuh makna "islah" sebagaimana yang dikehendaki oleh hasil Musyawarah Kubro. Yang bisa saya tangkap sejauh ini baru sebatas makna lahiriah meraba, bukan memastikan tentang arah dan maksud keputusan tersebut.
Dalam pemahaman sederhana saya, islah yang dimaksud seolah berangkat dari situasi di mana Rais ‘Aam Kiai Miftahul Akhyar sebelumnya telah mengambil sikap tegas terhadap Gus Yahya, setelah melalui proses penilaian, klarifikasi, dan pertimbangan yang menurut banyak pihak didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan rinci.
Sikap itu menunjukkan bahwa persoalan yang terjadi dipandang sebagai pelanggaran serius, bukan perkara ringan atau administratif belaka.
Namun, kemudian muncul dorongan untuk islah yang dalam bahasa awam sering dipahami sebagai “bersama kembali”, rukun kembali, dan organisasi berjalan normal seperti sediakala.
Di titik inilah kegamangan saya bermula.
Jika islah dimaknai sebagai meniadakan fakta pelanggaran, menganggap seolah tidak pernah terjadi kesalahan, atau menutup perkara besar tanpa kejelasan tanggung jawab dan proses etis, maka kegelisahan publik menjadi sesuatu yang wajar. Dalam pemahaman saya yang terbatas, islah dengan makna seperti ini berisiko menimbulkan kesan bahwa pelanggaran berat dapat diredam tanpa pertanggungjawaban yang sepadan.
Bila demikian tafsirnya, maka sikap Kiai Miftahul Akhyar selaku Rais ‘Aam PBNU yang memilih untuk tidak serta-merta menerima islah menjadi dapat dipahami, bahkan diamini oleh banyak kalangan—baik struktural maupun kultural. Bukan karena menolak persatuan, melainkan justru karena kehati-hatian moral: Islam tidak mengajarkan perdamaian yang mengaburkan batas antara yang benar dan yang keliru, antara tanggung jawab dan pengabaian.
Namun, pada saat yang sama, saya juga menyadari satu hal penting.
Musyawarah Kubro tersebut dihadiri oleh para ulama sepuh bukan orang sembarangan. Mereka adalah para masyayikh yang dikenal keilmuannya, kewara’annya, bahkan oleh sebagian umat diyakini memiliki maqam spiritual yang tinggi.
Dengan komposisi seperti itu, hampir mustahil membayangkan bahwa konsep islah yang mereka maksud adalah islah yang menghalalkan yang haram atau melapangkan pelanggaran tanpa etika dan pertanggungjawaban.
bukan pada niat para kiai sepuh, melainkan pada jurang tafsir antara keputusan forum dan pemahaman publik di akar rumput.
Karena itu, bagi saya pribadi, sama sulitnya memahami secara pasti konsep islah yang dikehendaki oleh Musyawarah Kubro, dengan sulitnya menebak apalagi menghakimi alasan ketidakhadiran Kiai Miftahul Akhyar dalam forum tersebut. Terlalu banyak dimensi etis, organisatoris, dan spiritual yang tidak bisa dinilai hanya dari jarak pandang awam.
Yang bisa saya lakukan hanyalah menaruh hormat pada para masyayikh Musyawarah Kubro, sembari tetap memosisikan diri untuk memahami sikap kehati-hatian Rais ‘Aam PBNU sebagai bentuk tanggung jawab moral, bukan pembangkangan terhadap persatuan.
Dan mungkin, di titik ini, sikap paling jujur bagi orang awam seperti saya adalah mengakui:
bahwa islah memang cita-cita luhur, tetapi keadilan, kejelasan, dan amanah adalah fondasi yang tidak boleh dikorbankan atas nama ketenteraman semu. (hamba Allah)
