BREAKING NEWS

Penegakan Hukum Indonesia Sepanjang 2025 Masih Perlu Pembenahan


INDEPENDEN.CO.ID | JAKARTAPenegakan hukum di Indonesia sepanjang tahun 2025 dinilai masih menghadapi berbagai tantangan serius. 

Sejumlah persoalan mendasar dinilai belum sepenuhnya terjawab, terutama terkait konsistensi aparat penegak hukum dalam menghadirkan keadilan yang setara bagi seluruh lapisan masyarakat.

Penilaian tersebut disampaikan praktisi hukum senior H. Dr. Sutrisno, SH., MHum. dalam refleksi hukum akhir tahun 2025 yang disampaikannya kepada redaksi pada Senin (29/12/2025).

Menurut Sutrisno, hingga saat ini masih kuat persepsi publik bahwa hukum belum sepenuhnya ditegakkan secara adil. 

"Masih terlihat adanya kesan bahwa hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas," ujarnya.

Ia menilai, tidak sedikit perkara hukum yang dalam prosesnya cenderung direkayasa dengan menjadikan hukum sebagai instrumen pemidanaan, di mana kekuatan materi sering kali menjadi faktor penentu. 

Kondisi tersebut, kata dia, berdampak pada masyarakat yang tidak memiliki kemampuan finansial, sehingga kesulitan memperoleh rasa keadilan.

"Saya mencermati Presiden Prabowo Subianto secara konsisten menyampaikan komitmen penegakan hukum tanpa pandang bulu. Namun pada tataran implementasi, semangat tersebut belum sepenuhnya dijalankan oleh seluruh aparat penegak hukum," kata Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) itu.

Sutrisno menambahkan, realitas tersebut juga tercermin dari maraknya unggahan masyarakat di media sosial terkait dugaan pelanggaran hukum. 

Menurutnya, berbagai video yang beredar tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi, tetapi juga mencerminkan kekecewaan publik terhadap kinerja aparat penegak hukum.

"Fenomena ini semestinya dipandang sebagai kritik publik yang patut menjadi bahan evaluasi dan koreksi bagi aparat penegak hukum," ujarnya.

Ia pun menyoroti munculnya istilah "no viral no justice" yang semakin sering digunakan masyarakat. 

Sutrisno mempertanyakan kondisi tersebut dan menilai akan sangat disayangkan apabila penanganan perkara hukum harus selalu menunggu tekanan publik terlebih dahulu.


Dalam refleksinya, Sutrisno juga menyinggung masih banyaknya pejabat, terutama di daerah, yang terseret kasus hukum, khususnya tindak pidana korupsi.

"Kita tentu sangat prihatin. Jabatan publik seharusnya diemban sebagai amanah untuk melayani masyarakat, bukan justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi yang melukai rasa keadilan rakyat," ujar mantan Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) tersebut.

Peraih gelar doktor hukum dari Universitas Jayabaya Jakarta ini menilai, maraknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara menunjukkan masih lemahnya efek jera. Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari anggapan bahwa masih terdapat oknum aparat penegak hukum yang dapat diajak berkompromi, sehingga pelanggaran yang dilakukan diyakini tidak akan terungkap secara menyeluruh.

Ia juga menilai, tingginya kebutuhan biaya politik kerap menjadi salah satu faktor pendorong pejabat untuk mencari pembiayaan dengan cara melanggar hukum.


Menjelang pemberlakuan KUHP dan KUHAP baru pada 2 Januari 2026, Sutrisno berharap seluruh pihak dapat mematuhi dan melaksanakan ketentuan dalam regulasi tersebut secara konsisten dan bertanggung jawab.

"Semua pihak harus tunduk dan taat pada hukum. Aparat penegak hukum juga harus bersikap tegas serta menolak segala bentuk penyelesaian perkara melalui cara-cara di luar mekanisme hukum," tegasnya.

Terkait peran advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum, Sutrisno menegaskan bahwa advokat merupakan profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan tugasnya tidak boleh bersikap diskriminatif.

Menurutnya, advokat memiliki tanggung jawab moral untuk membela kepentingan hukum masyarakat pencari keadilan, termasuk masyarakat kecil, meskipun tanpa imbalan honorarium.

"Seorang advokat tidak seharusnya menolak perkara hanya karena klien tidak memiliki kemampuan finansial," katanya.

Ia mengakui bahwa dalam praktik masih ditemukan advokat yang lebih berorientasi pada materi dan mengabaikan tanggung jawab sosialnya. Salah satu penyebabnya adalah menjamurnya organisasi advokat, sehingga aspek kualitas dan integritas profesi kerap terpinggirkan.

"Advokat harus menjaga integritas dan kualitas dengan menegakkan kode etik profesi. Pada hakikatnya, tugas advokat adalah menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran tanpa membeda-bedakan," ujarnya.

Sutrisno menyatakan optimisme bahwa penegakan hukum pada 2026 dapat berjalan lebih baik. Menurutnya, sebagai negara besar dengan wilayah yang luas, Indonesia membutuhkan upaya serius dan berkelanjutan agar hukum benar-benar menjadi panglima.

"Negara akan semakin maju apabila penegakan hukumnya kuat dan berkeadilan. Sebaliknya, bangsa ini akan tertinggal jika penegakan hukumnya lemah," pungkasnya.(sa/by)